Kejaksaan Negeri Jakarta Timur Di Tuding “INKOMPETENSI” dan Serampangan, Dalam Melakukan Tuntutan


Jakarta∼Faktaberita.online

Oleh : Ari Bintara, MS., SH., MH., CLA. (ADVOKAT)
“ABR Law Firm.” tanggal 5 September 2023,

Kejaksaan negeri Jakarta Timur di anggap Inkompetensi dan Serampangan dalam melakukan tuntutan melalui Jaksa Penuntut Umum, (JPU)Tompi Pasaribu,
dalam Perkara yang di daftarkan Kejaksaan negeri Jakarta Timur, dengan register 365/pid.sus/2023/Pn.jak.tim

dengan mendaftarkan dan membuat perkara pidana khusus, atas nama terdakwa Tayo Tolu Omodaratan, bersama para pelapor dan juga saksi yang tidak independen dalam kesaksiannya telah menunjukkan Inkompetensi, sekaligus keragu-raguan Penuntut Umum, atas segala dalil yang didakwakan nya terhadap Terdakwa yang saat ini dibuktikan,

dengan adanya jaksa penuntut umum, memberikan surat keberatan atas pembelaan para penasehat hukum, yang mana surat jawaban atau surat keberatan dan membantah surat pembelaan para penasehat hukum, yang tidak di atur dalam hukum acara pidana di indonesia, sehingga hal demikian menunjukan pula bahwa, Jaksa Penuntut Umum (JPU) di anggap serampangan dalam menggunakan kekuasaannya sebagai jaksa penuntut umum, apabila kejaksaan secara terus menerus menggunakan kekuasaan di luar hukum acara pidana ini, maka langkah dan tindakannya di duga merupakan penyimpangan hukum, dan di anggap sebagai perbuatan melawan hukum, dimana hal demikian dalam surat menyurat dan jawab jinawab, hanya di atur pada hukum acara perdata.

Jaksa penuntut umum harus menjadikan keterangan saksi dan keterangan Terdakwa yang diberikan di luar pengadilan (confessions given outside of the court) berupa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai bagian dari fakta persidangan dalam surat tuntutan berdasarkan Pasal 185 ayat (1) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP (Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana)

Keterangan Saksi dan keterangan Terdakwa, adalah apa yang ia nyatakan di muka persidangan.

Jaksa Penuntut Umum juga telah di anggap mengesampingkan fakta persidangan dan telah mengabaikan bukti bukti maupun saksi saksi di persidangan, dan tetap menuntut terdakwa sebagaimana berita acara pemeriksaan di kepolisian, dengan pasal pasal yang diterapkan kepolisian, yang mana di kepolisian mulai dari pelaporan yang semula tanggal 10, menjadi tanggal dan terdakwa, juga tanpa melalui proses hukum yang terlihat tidak baik dengan tidak memanggil terdakwa sebagai saksi dan tidak pula di panggil sebagai tersangka,

Selain itu, penyitaan juga di duga tanpa disertai dokumen resmi berupa surat perintah penyitaan dari pengadilan setempat, dan apa yang terdakwa sampaikan dan didengar keterangannya di muka persidangan, sehingga memiliki kekuatan pembuktian sebagai alat bukti keterangan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah memberikan pembuktian dalam persidangan dimana saksi fakta hanya Liana saja, yang sudah pasti saksi tersebut tidak memiliki kualitas Objektif dalam memberikan kesaksian pembuktian, dalam persidangan telah memenuhi asas minimum pembuktian,

yakni didasarkan pada dua (2) alat bukti yang sah, nyatanya, dalam persidangan Penuntut Umum hanya mampu menghadirkan satu (1) orang saksi fakta yang secara sepihak diklaim sebagai orang yang melihat, mendengar, dan mengalami tindak pidana, sisanya, merupakan saksi-saksi yang sama sekali tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP sebagaimana jaksa penuntut umum ajukan.

Di samping Jaksa penuntut umum, di nilai tidak memiliki kemahiran yang cukup, dalam melakukan penuntutan tindak pidana,

hal ini dibuktikan dengan mengajukan surat keberatan atas pembelaan para penasehat hukum terdakwa, yang mana surat keberatan maupun surat bantahan jaksa penuntut umum tidak di atur dalam hukum acara pidana di Indonesia, sehingga penasehat hukum meyakini model penuntutan yang demikian akan selalu menciptakan kesesatan dalam proses penuntutan dan persidangan (malicious prosecution)

Pada Pasal 182 Ayat (1) KUHAP disebutkan,

“Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana kepada Terdakwa, setelah Ketua Majelis Hakim telah selesai melakukan pemeriksaan atas alat bukti,

berdasarkan pasal 184 ayat (1) KUHAP yang bertujuan untuk mencari kebenaran materil yang bertujuan penuntutan terdakwa berdasarkan fakta persidangan baik berupa saksi maupun bukti dan tidak hanya mengikuti hawa nafsu, menghukum atas dasar Ideologi, surat berita acara pemeriksaan di kepolisian dan juga atas dasar hubungan emosional, maupun atas dasar melihat para pihak, dan membandingkan pelapor serta terdakwa, dalam pengaruhnya di dunia hukum, karena tujuan persidangan untuk mencari fakta/kebenaran materil melainkan untuk menguji fakta/kebenaran materil yang telah terungkap di persidangan dan Penuntut Umum dalam membuat surat tuntutan tidak berdasarkan keterangan terdakwa,

keterangan saksi dan alat bukti untuk menilai fakta persidangan, yang mana dalam fakta fakta persidangan terdakwa tidak melakukan tindak pidana, bukan hanya mencari dan menilai yang mendukung perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa, berdasarkan keterangan tersendiri, baik yang jaksa penuntut umum tulis, maupun atas saksi yang diajukan dan bukti yang disampaikan, namun tetap merujuk pada pedoman tuntutan yang telah ditentukan, baik dalam KUHAP, serta dalam surat edaran Kejaksaan Agung, nomor 3 tahun 2019. Tentang pengendalian Gratifikasi di lingkungan Kejaksaan Agung.

“Demikian Press Release kami sampaikan kepada masyarakat, untuk pemahaman mendapatkan keadilan di Republik Indonesia”. Hormat kami, Kantor Hukum ABR Law Firm. 0817 0778 763 (Red.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *