Oleh : Joharmiko Safril Siregar, SE
Secara umum perubahan global dibidang teknologi dan informatika sangat pesat, bahkan system online yang awalnya menyasar dibidang komputerisasi maupun peralatan eletronik, kini hampir mengisi setiap sendi kehidupan kita. Transaksi Online dan berbagai interaksi sosial sudah dengan mudah dilakukan secara online. Berbagai kemudahan yang ditawarkan telah mampu menggesser tradisi tatap muka menjadi system sosial secara online. Fenomena ini juga sangat mempengaruhi sistem demokrasi kita, walaupun belum sepenuhnya penggunaan sistim online bisa diterapkan.
Semakin lama kita semakin dipaksa untuk ikut serta menjadi user dari salah satu bahkan ragam dari system online. Cara-cara lama dengan system konvensional dianggap tak layak pakai dan secara massal meninggalkan pola itu. Namun disisi lain setiap orang dipaksa untuk mengikuti dan paham terhadap teknologi itu sendiri, bisa mengoperasikan dan memiliki peralatan yang mumpuni serta selalu berubah secara cepat.
Lalu bagaimana dengan system demokrasi kita saat ini? Jawabanya hampir sama, bahwa sitem demokrasi dipaksa untuk ikut menerapkan system online. Mulai dari penyiapan perangkat, penggunaan system online pada pendaftaran dan perekrutan penyelenggara bahkan partai politik hingga calon Presiden Dan Wakil Presiden serta calon-calon legislative agaknya tidak lagi bisa dihindarkan dari penerapan system online. Salah satunya penggunaan SIPOL (Sistem Informasi
Partai Politik) yang digelontorkan oleh KPU telah digunakan sejak Pemilu 2019, kendati belum sepenuhnya, namun sitem online ini dianggap mampu mengurangi tingkat kerumitan tahapan pendaftaran hingga pengumuman peserta Pemilu disetiap periodik.
Bahkan penerapan e-voting dalam Pemilu 2024 telah menjadi pembicaraan yang ramai menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 yang akan dilangsungkan pada Februari 2024. Kita tunggu.
Sebanyak dua Pemilu telah dan sedang berlangsung dengan pergolakan system digital online. Terdapat berbagai hambatan dan tantangan, baik bagi penyelenggara, pemilih, Pemerintah maupun peserta Pemilu itu sendiri. Salah satu yang paling disoroti adalah tingginya gejolak isu SARA dan tumpulnya penegakan hukum bagi pelanggar di dunia online yang disebabkan masih lemahnya regulasi dan kesiapan perangkat bagi penegak hukum kepemiluan. Efeknya terjadi berbagai konflik sosial ditengah-tengah masyarakat yang berbau SARA baik pada saat penyelenggaraan maupun pasca Pemilu.
Hal ini akan sangat mempengaruhi kesuksesan pembangunan yang akan dijalankan oleh pemenang Pemilu disetiap tingkatan. Bukan hanya itu,diinternal pemerintahan juga muncul berbagai kerumitan, salah satunya penyusunan struktur personil dalam menjalankan roda Pemerintahan.
Dalam tubuh birokrasi sendiri tercipta blok dan gep yang implikasinya berpotensi terjadi penggerogotan terhadap kepemimpinan dari hasil Pemilu itu sendiri. Suasana seperti ini sangat terasa di khususnya daerah-daerah yang jumlah pemilihnya cenderung terjangkau. Seolah-olah setiap orang bisa dinilai dan dicap dari perilaku maupun Media Sosialnya pada saat Pemilu ataupun PILKADA berlangsung.
Bahkan tidak jarang pada saat Pemilu berlangsung terdapat ancaman disintegrasi bangsa ketika isu SARA dimainkan oleh oknum-oknum tertentu dengan menyebarkan informasi secara massal melalui media sosial. Hal ini diperparah dengan adanya upaya pembangkangan terhadap penguasa maupun kekuasaan, hal seperti ini cukup mudah menyulut hati para pembaca untuk mengikuti kemauan penyebar isu. Belakangan kampanye pemilu telah banyak melahirkan keresahan, kebencian, sinisme, pertentangan SARA bahkan stigmatisasi terhadap kelompok maupun golongan tertentu yang selama ini kita jadikan sebagai kekayaan keberagaman suku
bangsa kita. Prinsip Gotong royong yang sejak Bung Karno meproklamirkan Kemerdekaan 1945 mulai terasa usang dan hanya diatas kertas saja yang kerap digunakan sebagai slogan-slogan semata.
Kondisi seperti yang diutarakan diatas sangat tidak sehat bagi Demokrasi kita. Pemilu yang bertujuan untuk memilih calon Pemimpin Pemerintahan dan Perwakilan di Legislatif telah bergeser menjadi ajang rebut jabatan dan kekuasaan secara temporer. Substansi pelayan masyarakat dan perwakilan terhadap kepentingan masyarakat rasanya tinggal menjadi catatan dan pelajaran dibangku sekolah semata. Hal-hal baik yang dilakukan eksekutif dan legislatif seolah pun tidak lagi bisa dilihat kasat mata, segala sesuatu seolah bisa direkayasa dan dipreteli oleh system online belakangan ini. Demikian halnya dalam penegakan hukum, metode “VIRAL” dianggap lebih efektif belakangan ini. Orang akan lebih memilih memviralkan sebuah masalah daripada mengikuti prosedur hukum melalui jalur pengaduan.
Maintenance Demokrasi
Secara harafiah, maintenance dapat diartikan sebagai salah satu upaya pemeliharaan guna mengembalikan kondisi lebih baik dari sebelumnya maupun perawatan guna perpanjangan usia penggunaan agar tujuan bisa dicapai seperti apa yang direncanakan sebelumnya. Sementara Demokrasi dapat diartikan sebagai sebuah kondisi dimana rakyat menjadi pemegang kekuasaan tertinggi yang pada prakteknya memilih Pemimpin Pemerintahan dan perwakilanya di sebuah lembaga melalui PEMILU maupun PILKADA.
Sebelumnya kita telah lihat bagaimana kondisi Demokrasi kita belakangan, setidaknya pada era digital online yang berlangsung sejak 2019. Berbagai perubahan besar terjadi, pergeseran berbagai norma kehidupan juga berlangsung cukup kuat. Dimana muaranya terdapat ragam _pesimisme next generation_ (pesimisnya generasi penerus) yang disebabkan adanya pergeseran sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang seolah terjadi karena kejenuhan terhadap harapan hidup yang lebih baik.
Pemerintah dan Wakil Rakyat yang saat ini berada disinggasana kekuasaan sesungguhnya menjadi pemikul beban terberat terhadap adanya harapan lebih baik kedepan melalui PEMILU yang prosesnya sedang dan akan berlangsung di 2023 hingga 2024. Sebagai pembentuk Undang-undang dan Penguasa Anggaran diharapkan bisa membuat desain dan bentuk penyelenggaraan Pemilu yang bersifat _maintenance_ Demokrasi. Melalui kedua hal itu hendaknya terdapat ruang dan waktu bagi kita untuk melakukan perbaikan sistem yang sudah berjalan sebelumnya. Apalagi pandemik _Covid-19_ yang lalu kini sudah mulai terasa lebih bebas bisa kita jadikan momentum kebangkitan Nasional untuk menjadi lebih kuat dan bangkit sebagaimana menjadi spirit Hari Kemerdekaan kita di tahun 2022.
Selanjutnya penyelenggara Pemilu diharapkan mampu menjalankan kaidah dan fungsi penyelenggaraan Pemilu, sehingga apa yang menjadi kekhawatiran efek dari Pemilu maupun Pilkada serentak nantinya bisa diminimalisir bahkan dihilangkan dari panjangnya tahapan Pemilu maupun Pilkada. Apalagi keserentakan Pemilu dan Pilkada untuk yang pertama dilakukan secara menyeluruh diseluruh negeri Pertiwi.
Terdapat 3 hal utama yang menjadi maintenance Demokrasi kita, yakni pertama pembenahan sistem sosial ditengah pergeseran konvensional menjadi system digital online. Kedua, lahirnya regulasi yang diharapkan mampu memberi pengaturan antara kebebasan berekspresi dengan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, melalui digital online dan kekuatan kebhinekaan kita dimampukan menghadirkan segenap penyelenggara Pemilu yang professional, berintegritas, serta memiliki visi yang sama dalam memperbaiki sekaligus mempersiapkan Demokrasi kita untuk lebih baik dikemudian hari, dalam menghadapi sistem Demokrasi _online_ secara menyeluruh yang mungkin akan berlangsung pada Pemilu dan Pilkada kedepan.
Kendati tahapan Pemilu sudah berlangsung, namun sebahagian besar dari tahapan Pemilu dan Pilkada 2024 masih bisa dilakukan evaluasi dan pembenahan melalui pengawasan, penguatan serta dukungan dari seluruh komponen bangsa sehingga tahapan yang sudah di tangan penyelenggara Pemilu dan Pilkada bisa benar-benar menjadi momentum bagi bangsa ini untuk melahirkan _role model of democracy_ bagi bangsa-bangsa lain di dunia, khususnya dalam melahirkan Pemimpin dan Wakil Rakyat yang benar-benar merakyat.
(Sanggup BM)