Faktaberita.Online-Jakarta
Oleh : Joharmiko Safril Siregar, SE
Perilaku politik pada Pilkada (Pemilihan Kepala Dan Wakil Kepala Daerah) serentak tahun 2024, agaknya akan disuguhkan dengan model dan figur-figur yang tidak jauh berbeda dari periode sebelumnya. Dimana isu dan rivalitas yang dimainkan para pemangku kepentingan cenderung sama, yakni seputar primordialisme dan loyalitas kelompok, khususnya bagi calon pendatang baru. Sementara bagi calon petahana, paling jauh hanya akan bergeser dengan model nyeleneh “Kegagalan Pembangunan” karena tingginya energy mengantisipasi Pandemi Virus _Covid-19_.
Secara harafiah, primordialis dapat diartikan sebagai sebuah pandangan teguh terhadap hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik tradisi, adat istiadat, kepercayaan/agama maupun hal-hal lain yang tumbuh sejak lahir (red-KBBI).
*Primordial Positif*
Secara positif sikap primordial sesungguhnya bisa menjadi _capital social_ (_modal sosial_) bagi bangsa yang menjadi salah satu kekuatan bagi kita dalam menghadapi rongrongan pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa kita.
Demikian juga dalam kaitan destinasi budaya, keunikan dan ragam tradisi adat budaya bangsa kita telah menjadi salah satu daya tarik yang kuat bagi wisatawan dunia untuk berkunjung ke negeri kita dengan pemasukan yang tidak kecil bagi masyarakat dan Kas Negara. Fakta ini dapat kita lihat di daerah-daerah dengan geliat wisata yang tinggi berbasis adat budaya seperti Bali, Badui, Batak, dan daerah-daerah lain yang tidak akan pernah sepi sepanjang masih kuatnya ciri primorialis pada kehidupan mereka.
*Primordial Alat Politik*
Tidak dapat ditampik bahwa primordialisme bukan hanya terjadi kepada pemilih yang berada di daerah dengan suasana kehidupan yang kental dengan adat budaya serta sikap gotong royong yang kuat. Akan tetapi, pada Pemilu maupun Pilkada di perkotaan, primordialitas juga bukan barang langka, bahkan kerap menjadi stimulus poloarisasi. Sebut saja pada Pilkada DKI 2016, isu Primordialis sangat kentara dan fakta (LSI; Adjie Alfaraby 2016).
Perasaan atau sikap Primordialisme pada yg Pilkada tidak semata-mata tumbuh dan berkembang dari masyarakat atau pemilih yang sering dianggap bukan pemilih cerdas, namun perilaku Primordilasime ini seringnya muncul dari para _broker_ politik yang dipakai oleh para politisi maupun para calon untuk merebut kekuasaan. Ciri utamanya terlihat pada slogan-slogan, pidato kampanye dan latar belakang ketokohan-ketokohan yang dipakai menjadi pengganti wajah si calon. Kemasan ini akan diolah sedemikian rupa melalui Media dan para _Buzzer_.
Tidak jarang calon-calon yang disuguhkan oleh Partai Politik seolah semata untuk kemenangan. Hari ini berbeda Partai, besoknya sudah menjadi kader bahkan menjadi calon dari partai tersebut. Artinya secara kaderisasi kepartaian tidak lagi menjadi pertimbangan penting bagi Partai Politik dalam mengusung calon. Namun demikian, dengan dalam hal penjaringan calon, bisa saja calon yang digadang-gadang beberapa bulan sebelumnya melalui penjaringan internal berbeda dengan orang yang dicalonkan pada akhir masa pendaftaran calon. Terlepas dari isu
Primordialisme, Partai Politik juga kerap tidak konsisten dengan proses internalisasi mereka yang barangkali sejak lama sudah terbangun.
Kembali ke topik Primordialisme dalam Pemilu dan Pilkada. Bahwa lahirnya isu dan kenyataan Primordialisme itu sendiri justru seringkali adalah keinginan dan kenekatan bersama melawan komitmen asas dan tujuan Pemilu, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, demi terwujud kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Tidak jarang secara terbuka dan terang-terangan Tim Kampanye, Tim Sukses bahkan si Calon itu sendiri mengumbar latar belakang dan motivasinya berangkat dari hal-hal yang bersifat Primordialisme, dimana sesungguhnya adalah hal yang masuk ke ranah _privasi_.
Para elit politik yang tergabung dalam partai-partai yang bersifat nasionalis, juga agaknya tidak dapat berbuat banyak ketika dihadapkan dengan pilihan isu instan menuju kemenangan. Apalagi partai-partai yang memang sejak awal lahir dan berkembang dengan tema agama, sudah tentu akan selalu berorientasi dengan hal-hal yang bersifat primordial. Dan bahwa secara undang-undang juga, melegalkan Partai Politik yang menggunakan simbol-simbol Keagamaan menjadi salah satu syarat dan prasyarat internalisasi mereka (Kompas.com,11 Juni 2022 Ideologi Partai Politik di Indonesia: Nasionalis dan Islamis).
Dalam tulisan ini, penulis tidak sedang bicara soal boleh tidaknya Primordialisme atau agama dalam Demokrasi, namun penulis lebih menekankan kepada bagaimana kita secara jujur dan terbuka memahami Primordialisme antara kenyataan dan keresahan dalam setiap pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Bagi para pemilih yang tergolong kedalam indeks kemampuan Intelektual dan Demokrasi yang cukup, maka isu Primordialisme dianggap sebagai bumbu politik yang seringnya justru melahirkan jenaka politik. Dalam kondisi lebih panjang, tipe pemilih ini akan beralih menjadi Golput.
Namun bagi pemilih dengan wawasan Demokrasi yang rendah, isu Primordialis ini adalah perekat bagi sesama dan menjadi pedang pemisah untuk menandai pihak maupun orang lain yang berbeda denganya. Kondisi seperti ini akan menjadi lumbung suara yang murah untuk dipanen pada saat hari pencoblosan.
Sementara penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu, tidak dapat berbuat banyak karena berbagai kerumitan dan keterbatasan didalamnya. Hal yang sama akan dihadapi oleh penegak hukum, seperti Kepolisian dan TNI. Ketika tahapan Pemilu atau Pilkada berlangsung, kedua lembaga ini akan lebih memilih melakukan pencegahan dan upaya _cooling down_ dalam menjaga stabilitas. Sehingga pergolakan yang tadinya mulai memanas akan teredam _bak_ api dalam sekam, baik pada tahapan atau pasca pesta Demokrasi. Kendatipun di titik tertentu, tentunya POLRI dan TNI sebagai benteng pertahanan Negara akan tetap tegas ketika situasi sudah mulai tidak terkendali.
Pewarta : (Sanggup BM)