Tomson Situmeang ,SH.,M.H., : Klien Kami Membeli Tanah Berdasarkan SPOP, Bukan Girik

Tanggerang195 Dilihat

TANGERANG,FBO –

Setelah jeda selama 2 pekan, sidang lanjutan perkara dugaan pemalsuan surat dengan terdakwa Djoko Sukamtono kembali digelar di Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Tangerang, Senin (27/3/2023) dengan agenda pemeriksaan terdakwa.

Menjawab pertanyaan JPU, Djoko Sukamtono mengaku tidak kenal Idris atau pelapor. Djoko juga mengaku memiliki tanah di Kelurahan Dadap yang diperoleh dari hasil pembelian dari Tanu Hariyanto dengan SPOP atas nama Tanu Hariyanto tahun 1995.

Tanah tersebut kemudian diajukan peningkatan hak ke Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang tahun 2007. Untuk melengkapi persyaratan, maka dirinya mengajukan permohonan surat pernyataan tidak sengketa ke Pemerintah Desa Dadap. Surat tersebut diterbitkan tahun 2009 dan ditandatangani oleh Dames Taufik selaku Kepala Desa.

“Tidak kenal,” jawab Djoko Sukamtono menjawab pertanyaan JPU apakah mengenal Idris (pelapor : red).

“Saya membeli tanah itu tahun 1995 dari Tanu Hariyanto dihadapan PPAT Camat Kosambi, Slamat Setiawan,” ungkap Djoko.

“Bukan girik. Tapi SPOP (Surat Pengakuan Objek Pajak) atas nama Tanu Heryanto. Bukan atas nama Amin,” tegasnya.

Dijelaskannya, peningkatan hak atas tanahnya terbit tahun 2010 sebanyak 4 bidang. Sebagian lainnya ditangguhkan karena tergenang air karena abrasi. Setelah diurug, lahan yang tersisa tersebut kemudian diajukan kembali untuk peningkatan haknya ke BPN.

“Setelah diurug, kami ajukan kembali ke BPN untuk peningkatan hak. Tapi semua persyaratan tetap berkas lama yang diajukan tahun 2007 dan 2009. Hanya surat keterangan dari desa yang ditandatangani Dames Taufik tahun 2009, dilegalisir oleh Lurah Dadap, Subur Jauhari,” tuturnya menjawab JPU yang menanyakan apakah dirinya mengajukan permohonan surat pernyataan ke pihak Desa/Kelurahan pada saat pengajuan peningkatan hak atas tanahnya tahun 2015.

Tomson Situmeang penasehat hukum terdakwa yang ditemui awak media usai sidang, mengatakan bahwa sebenarnya kiennya atau terdakwa adalah pembeli yang beritikat baik. Dia membeli berdasarkan Dokumen-dokumen yang lengkap, dan dihadapan pejabat yang sah. yaitu Camat sebagai PPAT.

“Sebenarnya, terdakwa ini adalah pembeli yang beritikat baik. Dia membeli dengan Dokumen-dokumen yang sah. Dokumen – dokumennya lengkap. Dan terdakwa juga menguasai fisik artinya dijaga sejak dibeli sampai terbit sertifikatnya,” ujar Tomson, Senin (27/3/2023)

Tomson Situmeang,SH.,MH., mengatakan bahwa berbeda dengan pelapor Idris mengaku memiliki tanah tersebut dari warisan dan girik tahun 1982, tetapi tidak mendaftarkan tanahnya dan tidak menguasai tanahnya.

“Jika pelapor mengaku memiliki tanah dari warisan, pasti ada dong alas haknya ? Nah, kalaulah dia punya tanah warisan, tetapi tidak mendaftarkannya dan tidak menguasai atau mengurus fisiknya, maka sesuai UU Pokok Agraria, haknya sudah gugur atas tanah itu,” ujar Tomson.

“Kemudian, katanya dia punya girik tahun delapan dua. Itu tidak masuk akal. Sebab, setelah Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 dan PP pelaksanaannya berlaku, girik sudah tidak diterbitkan lagi. Lalu, darimana pelapor bisa mengatakan tanah itu miliknya ? Alas hak tidak ada. Fisik juga tidak dikuasai atau diurus,” katanya.

Tomson juga menyesalkan sikap majelis hakim yang seolah menuruti jaksa. Majelis hakim seolah tidak punya kemandirian.

“Kami menyesalkan sikap majelis hakim yang seolah tidak punya kemandirian dalam menangani perkara ini. Lihat saja, terdakwa ini seolah disuruh-suruh oleh orang lain. Kemudian, terdakwa ini seolah-olah membuat surat keterangan dari desa. Padahal, terdakwa hanya mengajukan permohonan surat,” tuturnya.

“Soal surat yang dibuat dan ditandatangani oleh Lurah Dames Taufik tahun 2009. Mereka seolah-olah mengatakan itu dibuat oleh Subur Jauhari yang menjadi lurah pada tahun 2012. Surat itu kan dibuat tahun 2009 dan ditandatangani oleh Kepala Desa pada saat itu yaitu Dames Taufik. Pada tahun 2015 ketika mengajukan permohonan peningkatan hak atas tanah yang tertunda tahun 2009 itu, maka surat tersebut dilegalisir oleh Subur Jauhari, Lurah pada waktu itu. Tapi mereka menganggap surat itu dibuat tahun 2015 dan ditandatangani oleh Subur Jauhari selaku Lurah Dadap,”kata kuasa hukum Djoko Sukamtono kepada Wartawan

[Red/Kaperwil Banten]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *